KURATORIAL PAMERAN
SELEMBAR FOTO UNTUK IBU
Oleh: I
Made Susanta Dwitanaya
yang kau jerat adalah riwayat
tidak punah jadi sejarah
yang bicara adalah cahaya
dikonstruksi dikomposisi
padam semua lampu
semua lampu…
membekukan yang cair
mencairkan yang beku
jangan kabur berjamur
segala negatif
menuju positif
kekal…….
(“Kamar Gelap”, Efek Rumah Kaca, 2008)
•
Begitu tombol shuter ditekan, maka pada sekejap itu pula setiap momen yang sedang berlangsung dapat terbekukan dalam citraan dwimatra bernama foto. Dalam setiap citra yang terkontruksi oleh struktur kerja mekanis dalam mengolah cahaya menjadi rupa yang dikenal sebagai teknologi fotografi terkandung berbagai lapisan makna bagi si fotografer ataupun bagi para apresiatornya.
Foto bukan lagi termaknai hanya sebatas artefak estetis hasil rekayasa seperangkat sistem kerja mekanis. Bukan pula sebagai sebuah “senjata politis” dalam memenangkan setiap perang citra di abad visual ini. Namun lebih dari itu, seperti lirik lagu yang berjudul Kamar Gelap dari band indie Efek Rumah Kaca yang dikutip di atas, sebuah foto mampu men-jerat riwayat agar tidak punah dan dapat terbaca oleh waktu sebagai sebuah sejarah.
Dalam sebuah foto, mulai dari yang terbingkai apik dan terpajang di dinding kamar , atupun yang terselip rapi dalam album, hingga yang masih tersimpan dalam perangkat komputer pastilah mempunyai cerita sendiri bagi pemiliknya. Sebuah foto ternyata melebihi makna dari sebuah citra yang dihasilkan oleh perangkat mekanis bernama kamera yang oleh fotografer senior Oscar Motuloh disebut sebagai “jendela pengintai” (hanya merekam sejauh mata kita memandang dan sejauh mana kita mau memandang).
Bagi saya foto bukan sebatas “jendela” untuk “mengintai” tetapi “pintu” untuk yang mempersilakan kita “memasuki” ruang – ruang imajiner bernama memori yang terkadang begitu intim dan bisa sangat emosional.
Hari Ibu , dan perayaan dengan
selembar foto
Benih – benih kehidupan tersemai dalam rahim seorang Ibu. Hingga kehidupan pun berhutang pada sosok Ibu. Semua peradaban dan kebudayaan di dunia ini menempatkan sosok Ibu dalam posisi yang istimewa. Dalam kosmologi Hindu misalnya, Ibu adalah Pradana karib kodrati bagi Purusa untuk melakukan proses penciptaan atau Utpeti. Ibu adalah Shakti, energi feminim kreatif dari cahaya sang adi kodrati. Ibu adalah Saraswati sang pemberi daya hidup dalam segurat aksara, yang menjelma menjadi seperangkat pengetahuan agar manusia mampu mencipta berbagai inovasi dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Ibu adalah Sri, sang pemberi nutrisi lewat bulir – bulir padi agar hidup terpelihara dalam kemakmuran dan kesejahteraan, tapi jika marah Ibu bisa jadi adalah Durga, sang penetralisir kondisi disorder menjadi order hingga kosmis terjaga dalam putaran harmoni yang kodrati. Ibu adalah Pertiwi, tanah yang kita pijak yang sekaligus memberi kita peradaban. Ibu adalah Men
Brayut, dewi kesuburan dengan delapan belas orang anak. Serta masih melimpah lagi hamparan mitologi dan epik suci yang menyurat serta menyiratkan nilai niali luhur tentang peran sentral Ibu dalam peradaban serta bentuk – bentuk penghormatan terhadapnya.
Tak hanya dalam mitologi maupun epik suci, jika kita membuka lembar demi lembar sejarah maka kita akan bertemu dengan narasi heroik sosok ibu atau perempuan perempuan pelawan tirani. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cokorda Istri Kanya, Cristina Martatiaahu, serta sederet nama – nama besar yang terukir pena sejarah pergerakan di era kolonial.
Hal itu juga yang kemudian menginspirasi dua belas organisasi perempuan dari berbagai daerah untuk berkumpul di Jakarta dari tanggal 22 – 25 Desember 1928 untuk membahas berbagai persoalan yang dihadapi perempuan pada masa itu, mulai dari soal pendidikan, kesetaraan gender, dan lain sebagainya dalam ajang diskusi tersebut disepakati pula terbentuknya Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Dari sinilah awal mula mengapa tanggal 22 Desember menjadi ritual nasional tahunan yang dikenal sebagai Hari Ibu.
Karya Fotografi
Peserta Pameran
Foto Bersama