Kamis, 22 Januari 2015

PENGANTAR PAMERAN SENI RUPA HARI JADI KUCING SERU KE-3







MENGUPAS KELAPA YANG TUMBUH DI “KEPALA” MEREKA…..

Oleh ; I Made Susanta Dwitanaya*
Sebuah Tulisan Sederhana, Yang Diniatkan Sebagai Pengantar Apresiasi Pameran “KELAPA”, Pameran Dalam Rangka HUT Kucing Seru (Kumpulan Cinta Gambar Seru) Yang Ketiga
…….Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala……………
(Rayuan Pulau Kelapa , 1944 - Ismail Marzuki)
Dulu, bahkan dulu sekali, tujuh puluh tahun yang lalu (1944) Ismail Marzuki, menganalogikan gugusan kepulauan Indonesia sebagai pulau kelapa nan indah, subur dan damai . Sebuah penggambaran yang bagi sebagian kalangan memiliki cita rasa moi indie banget , tentu saja jika dikaitkan dengan realitas fisik dan psikis masyarakat Hindia Belanda (Indonesia) yang masih “babak belur” akibat penjajahan kala itu. Terlepas dari itu semua, (sebab tulisan ini bukan sebuah tulisan tentang kajian post kolonial) petikan lirik lagu Ismail Marzuki tersebut sengaja saya sajikan untuk memperlihatkan bagaimana posisi kelapa sebagai objek , “didudukkan” sebagai sebuah bahasa metaforik untuk menggambarkan potensi alam indonesia yang subur dan kaya, dan seharusnya dapat dimanfaatkan sebesar – besarnya demi kemakmuran masyarakatnya. Ismail Marzuki mengibaratkan gugusan kepulauan nusantara layaknya pulau kelapa, sebuah tumbuhan yang bernama latin (Cocos nucifera) sebuah anggota dari marga tunggal dari suku aren-arenan atau Arecaceae, yang akar, batang, daun, bunga, pucuk, serabut, kulit, daging, hingga air buahnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan hidup manusia. Sehingga kelapa menjadi sebuah tumbuhan yang lekat dengan peradaban manusia.
Khusus dalam kebudayaan Bali, kelapa atau disebut juga nyuh memiliki fungsi yang penting. Kelapa dalam kosmologi Hindu Bali adalah Kalpa Wreksa, dalam upakara atau bebantenan, buah kelapa menjadi komponen penting dalam Daksina. Dalam jenis banten yang satu ini, buah kelapa menjadi sebuah simbol dari bumi itu sendiri. Berbagai jenis kelapa juga menjadi komponen penting dalam pembuatan sarana upacara, sebut saja jenis kelapa yang disebut, Nyuh Gading, Nyuh Mulung, Nyuh Rangda, Nyuh Sudamala, Nyuh Udang, dan masih banyak lagi jenis kelapa yang kerap dijadikan sarana upacara tertentu di Bali. Dalam wilayah yang lebih profan, kelapa dalam kebudayaan Bali juga menjadi simbol dari keindahan tubuh perempuan sebut saja sebuah ungkapan (sesengak) tradisional yang berbunyi ; “nyonyone nyangkih kadi nyuh gadinge kembar” yakni sebuah ungkapan metaforik yang menganalogikan sensualitas nyoyo atau payudara perempuan seperti Nyuh atau kelapa Gading yang kembar. Atau kita juga mungkin pernah mendengar nilai filosofis yang dituturkan secara lisan oleh para tetua atau penglingsir kita, “ ning idupe ne , peng meguna care punyan nyuh, nah” (nak hidup itu mesti berguna , layaknya pohon kelapa). Pendek kata dalam budaya Bali kelapa memiliki fungsi, dan posisi yang penting.
Lalu bagaimanakah kelapa sebagai sebuah objek di-interpretasi-kan secara visual oleh sekomplotan mahasiswa (sebagaian sudah jadi alumni) jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja yang menamai diri mereka sebagai kucing, bukan kucing garong, tapi KUCING SERU, yang kata mereka itu adalah singkatan dari Kumpulan Cinta Gambar Seru? Jawabanya tentu saja ada pada hari ini di ruang pameran ini. Karya dua dimensional dan tiga dimensional yang terdisplay dalam ruang pameran ini mulai dari fotografi, lukisan, grafis, drawing, instalasi, dan lain sebagainya ini menunjukkan cara pandang artistik mereka secara visual dalam menterjemahkan tema “kelapa” yang sekaligus menjadi judul pameran ini.
Secara umum karya – karya yang tampil dapat terbaca dalam tiga pendekatan artistik yakni; sebagian tampak memakai pendekatan artistik pemindahan bentuk kelapa dalam medium dua dimensional entah drawing, lukisan, ataupun fotografi, karya mereka berpretensi dalam tataran apa yang tampak, mereka meyakini keindahan yang alamiah (naturalistik) ataupun juga filsafat memesis ( keindahan sebagai tiruan alam) menjadi anutan artistik mereka. Sedangkan sebagaian lagi mencoba bermain pada wilayah visual, mereka mengutak – atik struktur visual kelapa, mengolah kemungkinan dan persepsi visual yang timbul dari sebuah objek kelapa tersebut , pretensi mereka adalah bermain dan belajar menjadi si “nakal” , mencoba menyajikan daya kejut dan sensasi pada ranah visual, parodi, karikatural, dan lain sebagainya menjadi bahasa yang mereka lafalkan . Sedangklan sebagaian lagi menunjukkan minat pada cara bertutur simbolik dan puitik, mereka tidak saja memindahkan objek dalam medium baru, tak pula menghadirkan sensasi dan utak atik visual , tapi juga berniat menghadirkan narasi yang ada di balik visual yang tersajikan, mereka mengejar apa yang hadir, bukan apa yang tampil, mereka menyajikan suatu yang simbolik, yang bebas ditafsir dan diinterpretasi dalam bentang horizon harapan para apresiator yang hadir.
Ketiga pendekatan artistik yang ditawarkan dan tampak pada karya- karya peserta dalam pameran ini tentu saja adalah pilihan dan keyakinan artistik masing masing. Mereka sedang suntuk berjalan pada rute masing – masing, mereka sedang bergerak dalam proses menjadi, dan kesadaran akan jalan artistik masing – masing menjadi penting untuk dipahami. Dan semuanya memang sah, semuanya benar, tak ada yang salah, sebab seni bukan perkara ataupun konvensi tentang benar dan salah. Konvensi dalam seni hanyalah perkara menarik dan tidak menarik, membosankan dan tidak membosankan. Seni adalah bentuk spesifik dari komunikasi seperti kata Jorst Smierst dalam buku Art Underpreasure yang ditulisnya.
Dan akhirnya dalam tulisan singkat ini saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun yang ke -3 untuk komunitas KUCING SERU, semoga di tahun – tahun berikutnya terus berkarya dan berproses. Salam hangat dari seorang kakak kelas.
Tampaksiring , Desember 2014
Penulis adalah alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha angkatan 2005
Oleh kawan kawannya, kerap diminta menulis pengantar pameran, sesekali juga belajar mengkurasi dan menginisiasi beberapa event seni rupa terutama yang berbasis perupa muda.
Pada masa kuliah beberapa tulisannya pernah dimuat di rubrik kampus ,Majalah Visual Art Jakarta
Lolos seleksi pada program loka karya Kurator Muda Indonesia 2014 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Ruangrupa.
Kini penulis berafiliasi dalam Gurat Institut, sebuah lembaga riset independen yang bergerak dalam penbelitian, pendokumentasian serta pengkurasian, dengan basis kajian pada seni rupa dan budaya visual Bali

Jumat, 12 September 2014

PAMERAN FOTO HARI JADI KUCING SERU KE-2





 KURATORIAL PAMERAN

 SELEMBAR FOTO UNTUK IBU
Oleh: I Made Susanta Dwitanaya

yang kau jerat adalah riwayat
tidak punah jadi sejarah
yang
bicara adalah cahaya
dikonstruksi dikomposisi
padam semua lampu
semua lampu

membekukan yang cair

mencairkan yang beku

jangan kabur berjamur

segala negatif

menuju positif

kekal…….

(“Kamar Gelap”,  Efek Rumah Kaca, 2008)


    Begitu tombol shuter ditekan, maka pada sekejap itu pula setiap momen yang sedang berlangsung dapat terbekukan dalam citraan dwimatra bernama foto. Dalam setiap citra yang terkontruksi oleh struktur kerja mekanis dalam mengolah cahaya menjadi rupa yang dikenal sebagai teknologi fotografi terkandung berbagai lapisan makna bagi si fotografer ataupun bagi para apresiatornya.  
         Foto bukan lagi termaknai hanya sebatas artefak estetis hasil rekayasa seperangkat sistem kerja mekanis. Bukan pula sebagai sebuahsenjata politisdalam memenangkan setiap perang citra di abad visual ini. Namun lebih dari itu, seperti lirik lagu  yang berjudul Kamar Gelap dari band indie Efek Rumah Kaca yang dikutip di atas,   sebuah foto mampu men-jerat riwayat agar tidak punah dan dapat terbaca oleh waktu sebagai sebuah sejarah.
         Dalam sebuah foto, mulai dari yang terbingkai apik dan terpajang di dinding kamar , atupun yang terselip rapi dalam album, hingga yang masih tersimpan dalam perangkat  komputer pastilah mempunyai cerita sendiri bagi pemiliknya. Sebuah foto ternyata melebihi makna dari sebuah citra yang dihasilkan oleh  perangkat mekanis bernama kamera yang oleh fotografer senior Oscar Motuloh disebut sebagaijendela pengintai” (hanya merekam sejauh mata kita memandang dan sejauh mana kita mau memandang). 
    Bagi saya foto  bukan sebatasjendela”  untukmengintaitetapipintuuntuk yang mempersilakan kita  “memasukiruangruang imajiner bernama memori yang terkadang begitu intim dan bisa sangat emosional.

            Hari Ibu , dan perayaan dengan  selembar foto
       Benihbenih kehidupan tersemai dalam rahim seorang Ibu. Hingga kehidupan pun berhutang pada sosok Ibu. Semua peradaban dan kebudayaan di dunia ini menempatkan sosok Ibu dalam posisi yang istimewaDalam kosmologi Hindu misalnyaIbu adalah Pradana karib kodrati bagi Purusa untuk melakukan proses penciptaan atau Utpeti. Ibu adalah Shakti, energi feminim kreatif dari  cahaya sang adi kodrati. Ibu adalah Saraswati sang pemberi daya hidup dalam segurat aksara, yang menjelma menjadi seperangkat pengetahuan agar manusia mampu mencipta berbagai inovasi dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
     Ibu adalah Sri, sang pemberi nutrisi lewat bulirbulir padi agar hidup terpelihara dalam kemakmuran dan kesejahteraan, tapi jika marah Ibu bisa jadi adalah Durga, sang penetralisir kondisi disorder  menjadi order hingga kosmis terjaga dalam putaran harmoni yang kodratiIbu adalah Pertiwi, tanah yang kita pijak yang sekaligus memberi kita peradaban. Ibu adalah Men Brayut, dewi kesuburan  dengan delapan belas orang anak. Serta masih melimpah lagi hamparan mitologi dan epik suci yang menyurat serta menyiratkan nilai niali luhur tentang peran sentral  Ibu dalam peradaban serta bentukbentuk penghormatan terhadapnya. 
       Tak hanya dalam  mitologi maupun epik suci, jika kita membuka lembar demi lembar sejarah maka kita akan bertemu dengan narasi heroik sosok  ibu atau perempuan perempuan pelawan tirani. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cokorda Istri Kanya, Cristina Martatiaahu, serta sederet namanama besar yang terukir pena sejarah pergerakan di era kolonial.
         Hal itu juga yang kemudian menginspirasi dua belas organisasi perempuan dari berbagai daerah untuk berkumpul di Jakarta dari tanggal 22 – 25 Desember 1928 untuk membahas berbagai persoalan yang dihadapi perempuan pada masa itu, mulai dari soal pendidikan, kesetaraan gender, dan lain sebagainya dalam ajang diskusi tersebut disepakati pula  terbentuknya Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Dari sinilah awal mula mengapa tanggal 22 Desember menjadi ritual nasional  tahunan yang dikenal sebagai Hari Ibu.

Karya Fotografi   

 
























Peserta Pameran





















Foto Bersama